Ya, kami memang manusia gila. Segila-gilanya. Itulah yang biasa terjadi pada sebuah kelompok manusia penggemar sepak bola. Sebuah kewajaran.
Bagaimana mungkin sepakbola Indonesia yang jauh dari bermutu, baik dari sisi tehnik maupun hiburan, justru tetap digandrungi masyarakat. Nyaris tak pernah ada stadion kosong di seantero negeri ketika ada pertandingan sepakbola.Harus dikatakan bahwa masyarakat Indonesia memang “gila bola”. Pertandingan apapun. Level apapun. Sulit membayangkan bila tim nasional bisa juara Asia, kemudian Dunia. Jika itu terjadi, saya yakin stadion di seluruh Indonesia harus di-upgrade kapasitasnya — termasuk Stadion Utama Gelora Bung Karno. Bisa-bisa negeri ini mengalahkan Brasil dan Inggris dengan slogan Football is about
religion and cultureLihatlah bagaimana kecintaan berbalut kegilaan itu muncul di Senayan kemarin malam. Yakinlah, malam itu “Garuda Senior” bermain bak pemain baru belajar sepakbola. Itulah kualitas sesungguhnya tim kita. Bukan barang baru. Pun demikian hasilnya. Tapi sebenarnya sepakbola Indonesia punya potensi. Sekali lagi, dengan jumlah pendukung yang bejibun dan stadion yang tak pernah sepi, seharusnya Indonesia bisa merajai minimal Asean — seperti yang terjadi pada era 60, 70, 80 dan awal 90-an. Bekas pelatih Indonesia, Peter Withe dan Ivan Kolev, menyebut keunggulan kualitas individu pemain Indonesia terbaik di Asean. Yang terjadi di sini hanya salah urus.
Melawan Oman, kita terlihat bobrok secara tim. Oman hanya bermain sesuai text book, tidak terlalu istimewa sebenarnya. Masalahnya, kita justru tidak jelas menggunakan kamus sepakbola dari mana. Fisik dan stamina yang cupret. Rotasi dan posisi pemain yang sangat absurd, kebalikan dari Oman — tim yang pada tahun 1988 dengan mudah dicukur Indonesia 3-0!. Padahal skill individu Indonesia diakui bagus oleh pelatih lawan, Claude Leroy. Namun skill tanpa manajemen yang rapi tak akan ada artinya.
Sekali lagi, itu bukan barang baru. Kekalahan adalah hal biasa bagi timnas. Permainan dengan tingkat kesalahan elementer juga adegan langganan.
Yang diinginkan oleh masyarakat gila ini sebenarnya hanya melihat mereka bermain bagus, baik dan benar — sesuai manajemen bermain. Mereka tak melulu menuntut hasil positif, meski berharap demikian. Contoh soal itu sudah ada di Piala Asia 2007. Kita tak lolos dari grup, tapi dengan cara terhormat. Permainan yang positif, dengan pendekatan mental yang positif pula. Soal hasil akhir, itu hanya karena kualitas tim kita memang masih di bawah Korea Selatan dan Arab Saudi. Jujur saja, walau tipis.
Tapi bila harapan untuk melihat permainan yang membangun pun tak terpenuhi, jadilah sosok Hendri yang mencuat. Mendapatkan tiket dengan susah payah, melalui calo, berdesakan di pintu masuk yang menyerupai bottle neck, bertukar keringat dengan bau aneka rupa dan duduk di tribun yang jauh dari kenyamanan kelas satu bak stadion dunia akhirnya menjadi detonator yang komplit.
Sosok Hendri yang menjadi “pemain ke-12″ adalah sebuah tamparan telak bagi pengelola sepak bola Indonesia. Inilah demonstrasi paling luhur di ajang sepakbola. Dia salah karena menerobos keamanan. Dia salah menurut hukum acara pertandingan. Tapi sikapnya jauh dari salah. Dia mau menunjukkan bahwa semua ini demi “kegilaan”.
Seharusnya pengelola sepakbola Indonesia bersyukur. Penonton pulang dengan tertib dan nyaris tak ada gangguan ketertiban. Suporter kecewa, tapi mereka menerima. Mereka pasti bersedia kembali ke stadion ketika “Merah Putih” bertanding lagi. Mereka juga masih akan tetap membagi kesenangan yang sama antara Liga Indonesia dan liga-liga kelas dunia itu.
Mereka masih rindu pariwisata stadion. Itu yang terjadi kemarin malam. Aksi foto-foto bak sebuah acara temu kangen adalah kejadian wajar di tribun. Mereka bahkan tak hanya bermodalkan kamera foto, tapi juga kamera video. Belum lagi dengan makin banyaknya wanita kinclong yang datang. Sungguh ini cuma ada di Indonesia. Di balik keburukan, tersembunyi sebuah suka cita.
Tapi pengelola sepak bola juga harus bisa membalas kecintaan dan kegilaan itu sekaligus. Tunjukkan bahwa anda sama gilanya dengan kami. Buktikan bahwa anda bisa bertanggung jawab agar kebobrokan permainan tak terjadi lagi, di seluruh level. Bila gagal, anda tak punya kecintaan dan kegilaan yang sama. Jika hanya anda yang waras, sementara seluruh publik sepakbola gila, maka itu tidak fair. Itu justru abnormal. Malangnya, itu sudah kronis dan harus cepat diobati.
waloetz
0 komentar:
Posting Komentar